GAMBARAN UMUM KEMANTREN NGAMPILAN


SEJARAH KEMANTREN NGAMPILAN

 

 

Kemantren Ngampilan terdiri dari dua kelurahan, tujuh kampung, dua puluh satu RW, dan seratus dua puluh RT dengan luas 0,82 km2 . Sebelah utara berbatasan dengan Kemantren Gedongtengen, sebelah timur berbatasan dengan Kemantren Gondomanan dan Kemantren Keraton, sebelah selatan berbatasan dengan Kemantren Mantrijeron, serta sebelah barat berbatasan dengan Kemantren Wirobrajan. 
 
Kelurahan Ngampilan terdiri dari : Ngadiwinatan, Purwodiningratan, Ngampilan, dan Pathuk
  • Kampung Ngadiwinatan
Asal penamaan Kampung Ngadiwinatan dapat diketahui dengan penelusuran tradisi lisan yang beredar di masyarakat kampung sekitar. Penamaan kampung ini berasal dari nama-nama rumah atau tempat tinggal tokoh bangsawan. Ndalem Ngadiwinatan tersebut dihuni oleh GBPH Hadiwinata yang merupakan salah satu putra dari Sultan Hamengku Buwono VII. GBPH Hadiwinata tinggal bersama dengan keluarga dan abdi dalemnya. GBPH Hadiwinata adalah seorang guru dan ahli sastra Jawa (Sumintarsih, 2014). Perkembangan Ndalem Ngadiwinatan menjadi kampung, berawal dari keberadaan rumah abdi dalem disekitarnya. Kemudian berkembang menjadi permukiman kampung. Keberadaan Ndalem Ngadiwinatan masih berdiri hingga saat ini dengan dimanfaatkan sebagai Kantor Balai Pemuda dan Olahraga DIY, dan juga telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Ndalem Ngadiwinatan sebagai Kantor Balai Pemuda dan Olahraga DIY
  • Kampung Purwodiningratan
Kampung Purwodiningratan merupakan sebuah kampung yang berada di Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Purwodiningratan berbatasan dengan Ngampilan di bagian barat, Notoprajan di bagian selatan, Ngadiwinatan di bagian timur, dan Ngampilan di bagian utara. Sejarah penamaan Kampung Purwodiningratan dapat ditelusuri melalui tradisi lisan yang beredar di masyarakat setempat. Penamaan Kampung Purwodiningratan, berasal dari nama rumah atau tempat tinggal tokoh bangsawan yang bernama Ndalem Purwadiningratan. Ndalem atau rumah tersebut dihuni oleh KRT Purwodiningrat, suami BRAy Purwodiningrat yang merupakan salah satu putri dari Sultan Hamengku Buwono ke VI. KRT Purwodiningrat merupakan seorang pejabat yang bertugas mengurusi pengumpulan pajak.
Kampung Purwodiningratan Tahun 1925
Perkembangan Ndalem Purwadiningratan menjadi kampung, berawal dari keberadaan rumah abdi dalem di sekitar ndalem, kemudian berkembang menjadi sebuah permukiman kampung. Pada tahun 1925di tempat ini menjadi tempat hunian kompleks perumahan dinas bagi para pejabat Belanda (Khairunisa, 2018). Kemudian pasca kemerdekaan, tempat tersebut dikelola pihak keraton dan menjadi tanah magersari (hak tanah tetap di pihak keraton tetapi dapat ditinggali atau digunakan warga atas ijin dari keraton). Sedangkan saat ini keberadaan Ndalem Purwadiningratan telah berubah menjadi Komplek Sekolah Yayasan Muhammadiyah (TK ABA Purwodiningratan, SD Muhammadiyah Purwodiningratan 1 dan 2, SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta, dan SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta) yang dibangun pada tahun 1970-an (Sunoto, 2019).
 
  • Kampung Ngampilan
Ngampilan merupakan permukiman bagi abdi dalem ampilan. Leksikon “ampilan” dalam kamus Bausastra Jawa (Poerwadarminta, 1939) bermakna upacara dan sebagainya serta barang bawaan yang dibawa pembesar ketika pergi (upacara lsp. gawaning para gêdhe yèn lêlungan). “Upacara” yang dimaksud di sini adalah barang-barang yang termasuk ampilan kêprabon seperti tempat kinang, banyak dhalang, sawung-galing dan sebagainya (barangbarang kang kalêbu ampilan kêprabon, kyt. wadhah kinang, banyak dhalang, sawung-galing lsp) (Poerwadarminta, 1939). Tugas abdi dalem ampilan adalah membawa ampilan dalem atau ampilan kêprabon ke Bangsal Manguntur Tangkil sebelum Sri Sultan duduk di singgasana. Berdasarkan jabatannya, abdi dalem ampilan dibagi menjadi dua, yaitu Wignya dan Derma/Saderma yang biasanya kedua kata tersebut disematkan pada nama depan mereka. Wignya artinya hendaknya Sultan pandai, bisa, dan mampu duduk di singgasana untuk dihadapan kawula atau rakyatnya, sedangkan saderma yaitu dengan tulus sultan menjadi wakil Tuhan Yang Maha Esa dan sanggup menata tata keagamaan ( Priyono, 2015: 122; KRT Yudopiro, 1997 dalam Gupta, 2007: 80). Ngampilan merupakan wilayah kota keraton di bagian barat daya Keraton. Awalnya, Ngampilan merupakan daerah yang dibangun khusus untuk para abdi dalem yang bekerja untuk keraton. Namun dalam perkembangan zaman, wilayah ini dihuni pendatang dari luar yang bukan abdi dalem. Memang, sekarang tidak semua masyarakat merupakan abdi dalem, hanya beberapa saja yang merupakan abdi keraton.
Tentang Kelurahan Ngampilan:
Masyarakat Kelurahan Ngampilan saat ini potensinya cukup beragam terutama dibidang wiraswasta, salah satu produk kewirausahaannya adalah bakpia pathuk yang terkenal, masyarakat Kelurahan Ngampilan mengelola dan mengembangkan bakpia pathuk. Selain itu ada pula yang berprofesi sebagai tenaga pengajar seperti guru ataupun dosen. Dengan adanya rumah sakit dan puskesmas yang ada di Ngampilan, membuat banyak dokter dan perawat yang menetap di Ngampilan, selain itu ada pula pekerja lepas, sebagian juga menjadi peternak seperti ternak ayam dan bebek, walaupun tidak seluas  dan sebanyak jika berada di lahan lepas, namun ternak ayam dan bebek di Ngampilan masih menjadi bagian dari kehidupan warga. Sarana dan prasarana sangat menunjang kegiatan sosial dan ekonomi. Sarana sosial yang ada di Ngampilan yaitu puskesmas dan puskesmas pembantu, poliklinik atau rumah bersalin, dan empat belas praktik dokter, di Ngampilan juga ada dua pasar, ratusan toko yang sebagian besar menjual bakpia pathuk, super market ada lima buah dan ratusan warung yang ada di Ngampilan ini. Selain itu ada pula Posyandu dan Pos KB. Sarana beribadah berupa masjid, mushola dan gereja. Kegiatan masyarakat Ngampilan yang cukup penting, yaitu adanya kegiatan tanggap bencana. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan mengadakan sosialisasi – sosialisasi untuk menanggulangi bencana. Tidak hanya angin kencang dan kebakaran yang menjadi kewaspadaan masyarakat Ngampilan, namun bencana longsor dan banjir di pinggiran kali Winoro juga merupakan ancaman. Dibidang kesenian masyarakat Kelurahan Ngampilan masih melestarikan kesenian ketoprak atau wayang orang, karawitan dan musik-musik atau seni suara. Sarana ekonomi di kelurahan Ngampilan yaitu dua pasar umum, ratusan toko, kios dan warung, sedangkan lembaga keuangan dan perbankan yang ada di Ngampilan antara lain koperasi, bank dan BUKP yang berguna untuk memfasilitasi masyarakat dalam simpan-pinjam uang
  • Kampung Pathuk
Asal muasal sejarah penamaan Kampung Pathuk, berawal dari istilah pathuk. Dalam kamus Bausastra Jawa (1939), karya Poerwadarminta kata pathuk memiliki arti pojok tikungan (ing kali, gunung lsp) atau pojok tikungan (di sungai, gunung, dan sebagainya). Jika dilihat lokasinya berada, kampung yang terkenal sebagai sentra bakpia ini memang ada di pojok tikungan jalan yang dekat dengan pertigaan. Keberadaan Kampung Pathuk lebih terkenal sebagai sentra pembuatan Bakpia. Bakpia sendiri diketahui telah diproduksi di Kampung Pathuk sejak tahun 1948-an (Lestari, 2018). Makanan ini sebenarnya merupakan kue khas masyarakat Tionghoa, yang dibawa ketika mereka mulai menetap di kampung ini. Pada tahun 1980-an pembuatan bakpia mulai berkembang, hingga sekitar tahun 1990-an peminat bakpia kian meningkat dan mulai dikenal sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta. Banyaknya peminat, medorong warga mulai belajar untuk membuat bakpia. Merk bakpia diberi sesuai dengan nomor rumah. Merk-merk bakpia sendiri selama ini sebagian besar berupa angka yaitu 75, 25, 100, dan 125 (Khairunisa, 2018). Kampung Pathuk memiliki resiko bencana yang tinggi, khususnya kebakaran akibat padatnya pemukiman penduduk. Hingga pada tahun 2015, kampung ini ditetapkan sebagai Kampung Tangguh Bencana untuk siap menangani bencana angin kencang dan kebakaran.
Kampuk Pathuk Tahun 1925

Kelurahan Notoprajan terdiri dari : Serangan, Notoprajan, dan Suronatan

  • Kampung Serangan
Kampung Serangan yang secara administratif masuk ke dalam Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan, Kota Yogyakarta. Kata “serangan” berasal dari kata dasar “sêrang” yang mengalami afiksasi dengan imbuhan sufiks –an. Poerwadarminta dalam kamus Bausastra Jawa (1939) menyebutkan kata “sêrang” yang mempunyai arti trajang atau terjang. Saat Agresi Militer II daerah ini menjadi lokasi saling serang atau medan pertempuran antara pihak Belanda dan Republik Indonesia. Pendapat lain terkait asal mula mengapa kampung ini dinamakan Kampung Serangan sebab sebelum peristiwa Agresi Militer II wilayah ini sudah dikenal dengan Serangan. Dalam tulisan P. de Kat Angelino (1930: 179-180) misalnya, ia menyebutkan tentang adanya sebuah kampung di Kota Yogyakarta bernama Serangan ketika membahas mengenai proses pembuatan batik di kota ini. Kampung Serangan merupakan sebuah perkampungan penatah keris yang telah dikenal sejak dahulu hingga sekarang. Toponimi Kampung Serangan bertalian erat dengan keberadaan para penatah keris yang tinggal di kampung ini. Menurut Poerwadarminta (1939), keris merupakan gêgaman landhêp mawa wrangka lan ukiran atau senjata tajam dengan rangka dan ukiran. Salah satu fungsinya ialah sebagai senjata untuk menyerang dalam sebuah duel atau pertempuran, seperti yang tergambar dalam penggalan berjudul “Dongeng Panji” (Kejawen 1940, Jilid 2, No. 64, Tahun XV, 9 Agustus 1940) berikut ini: “… Raja Mataun nantang pêrang tandhing ana ing lêmah, anggar nganggo kêris, iya diladèni. Wusana Ratu Mataun disuduk nganggo kêrise Klana Jayèngsari jênêng Kalamisani, ambruk, mati sanalika. Surake bala kaya jumêguring gunung njêblug. Wadyabala Mataun padha mlayu pating kêdanda. …” Terjemahan bebasnya: “… Raja Mataun menantang perang tanding di bumi, tangkismenangkis dengan keris, ya dituruti. Akhirnya Ratu Mataun diterjang dengan kerisnya Klana Jayèngsari yang bernama Kalamisani, jatuh tewas seketika. Sorakan prajurit seperti gemuruh gunung meletus. Laskar Mataun berlarian tunggang-langgang. …” Dari sejarahnya, keris telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu. Keris disebut sebagai tosan aji (tosan= besi, aji=memiliki nilai atau harga) atau besi yang bernilai/ berharga. Keris menduduki posisi yang terhormat dalam kehidupan masyarakat Jawa klasik. Tak jarang keris-keris ini diberi nama tersendiri sebagai wujud penghormatan, misalnya Kangjeng Kiai Ageng Kopek, Kangjeng Kiai Joko Piturun, Kiai Ageng Bondoyudo, dan sebagainya. Selain sebagai alat perang atau duel melawan musuh, keris juga menjadi bagian dari pusaka keluarga yang diwariskan turun-temurun, kelengkapan busana, simbol status, pemberi kewibawaan, perlengkapan dalam upacara adat, dan salah satu dari lima syarat kelengkapan bagi seorang laki-laki Jawa (curiga atau keris, wisma atau rumah, turangga atau kuda, wanita atau istri, dan kukila atau burung). Seiring dengan perkembangan zaman, eksistensi keris mulai pudar. Pengetahuan dan keahlian mengenai pembuatan dan penatahan keris pun perlahan hilang. Namun, di Kampung Serangan ini masih dapat dijumpai bengkel penatahan keris yang merupakan warisan dari beberapa generasi di atasnya. Di kampung ini keris-keris lama disulap menjadi baru. Proses pengerjaannya dilakukan secara tradisional yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Hingga kini, Kampung Serangan dikenal sebagai kampung wisata dengan penatah kerisnya yang masyhur. Tak hanya di dalam negeri tetapi juga sampai ke luar negeri.
Dalam versi lainnya, toponimi Kampung Serangan yang berada +200 meter dari Dalem Notoprajan ini berkaitan dengan rumah kediaman Pangeran Serang yang merupakan paman dari Pangeran Nataprajan I. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa, suatu tempat umumnya dinamai, salah satunya, berdasarkan penanda (tetenger) bangunan atau tempat tinggal pangeran. Beberapa literatur sejarah disebutkan bahwa Pangeran Serang ikut membantu Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Ia memimpin 10.000 orang ke Demak dan mengalahkan pasukan Belanda serta mengancam daerah Semarang (Laan, 1939: 506). Pangeran Serang dianugerahi pangkat mayor pada tahun 1827 dan meninggal dunia tanggal 3 Februari 1854 (Java Bode, No. 14, 18 Februari 1854: 4).
 
  • Kampung Notoprajan
Secara administratif Kampung Notoprajan berada di Kelurahan Notoprajan (Kecamatan Ngampilan) dan dibatasi oleh Kampung Kadipaten di sisi selatan, Kampung Suronatan di sisi timur, Kampung Serangan di sisi barat, dan Kampung Ngadiwinatan di sisi utara. Nama Kampung Notoprajan diambil dari nama Kangjêng Pangeran Adipati Kolonèl Natapraja (Pangeran Natapraja I), putra dari Kangjêng Pangeran Arya Mangkudiningrat, yang pernah mendiami daerah ini. Dalam Sêrat Dasanamajarwa (Sastranagara, 1913), natapraja bermakna menata negara (têgêsipun anata nagari). Sosoknya disebutkan dalam beberapa literatur Belanda dan Jawa tentang Perang Jawa, diantaranya De Java-Oorlog van 1825-1930: Vierde Deel (Louw, P.J.F., dan E.S. de Klerck, 1905: 376, 418, & 549) dan Punika Sêrat Babad Ingkang Sinuhun Kaping Gangsal Kaping Nêm Saha Kramanipun Dipanagaran, 1861 (Suradikrama, 1930: 82, 95, 100-1, 103-5, 107-9) Kediaman Pangeran Natapraja I atau yang disebut Dalem Nataprajan/Notoprajan dibangun di atas lahan seluas 1,8 hektar dengan arsitektur tradisional Jawa dan mengikuti orientasi kosmologis selatan-utara Keraton Yogyakarta. Berdasarkan Plattegrond van de Hoofdplaats Jogjakarta omstreeks 1830 koleksi KITLV dapat diketahui bahwa setidaknya kompleks kediaman Pangeran Natapraja I ini telah ada pada tahun 1830. Wilayah di sekeliling dalem Notoprajan oleh masyarakat kemudian dikenal dengan nama Kampung Notoprajan. Setelah wafatnya Pangeran Natapraja I, Dalem Notoprajan diwariskan kepada putranya, yakni Kangjêng Pangeran Arya Mayor Natapraja (Pangeran Natapraja II). Sepeninggal Pangeran Natapraja II, dalem ini didiami oleh GRA Maduretna (putra dari Sri Sultan Hamengku Buwana VII) hingga akhir hayatnya. Selanjutnya pada tahun 1946 Dalem Notoprajan ditempati GBPH Hadiwijaya, putra angkat GRA Maduretno, sehingga disebut juga dengan Dalem Hadiwijayan. Dalem ini pernah digunakan sebagai kantor Sri Sultan Hamengku Buwana IX serta tempat pertemuan dengan Presiden Soekarno dan dengan Letnan Kolonel Soeharto sebelum peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Dalam perkembangannya, Dalem Notoprajan telah mengalami beberapa kali perubahan fungsi. Dalem ini pernah digunakan sebagai gudang dan pabrik rami, tahun 1945-1971 dipakai untuk asrama mahasiswa UGM, tahun 1973-1983 digunakan untuk gedung KONRI (Konservatori Tari), dan sejak bulan Mei 1984 ditempati Kantor Bidang Kesenian Depdikbud DIY (Gupta, 2007: 64). Saat ini Dalem Notoprajan telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya melalui SK Menteri No. PM.89/PM.007/MKP/2011 dengan No. REGNAS RNCB.20111017.02.000250 dan dikelola oleh keluarga GBPH Hadiwijaya.
Dalem Notoprajan masa lampau
  • Kampung Suronatan

 

Nama Kampung Suronatan berasal dari kata suranata. Dalam kamus Bausastra Jawa (Poerwadarminta, 1939), suranata merupakan abdi dalem mutihan di keraton (abdidalêm mutihan ing keraton). Mutihan atau putihan adalah mereka yang benar-benar menjalankan agama dengan lurus, seperti para ulama atau kyai. Lawan kata dari mutihan adalah abangan, yaitu mereka yang tidak menjalankan agama. J.F.C. Gericke dan T. Roorda dan Javaansch-Nederduitsch Woordenboek (1847) menyebut kata “suranata” yang merupakan nama korps prajurit yang terdiri dari para ulama (naam van een korps soldaten, dat uit Priesters bestaat), dan kata “suranatan” yang merupakan tempat pertemuan para Suranata, sebuah bangunan di dalam tembok benteng utara keraton (de vergaderplaats der Soerå-nåtå’s, een gebouw binnen den ringmuur ten noorden van de Keraton). Dari kedua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Suranata merupakan kesatuan prajurit keraton yang terdiri dari para ulama atau abdi dalem mutihan keraton. Dari sejarahnya, di Kampung Suronatan dahulu tinggal para Suranata. Tugas dari para Suranata disamping sebagai korps prajurit juga bertugas sebagai ulama keraton yang berkecimpung dalam urusan-urusan keagamaan. Menurut arsip-arsip sebelum Perjanjian Giyanti, naskah no. 1 tentang pembagian wilayah kerajaaan, struktur birokrasi dan nama-nama kesatuan prajurit, disebutkan bahwa Sultan Agung, raja Mataram Islam di Kotagede, juga telah menata abdi dalem prajurit Suranata yang tugasnya menyiapkan sujudan (sajadah), tesbeh (tasbih), pasalatan (tempat untuk sholat) (Priyono, 2015: 121; Gupta, 2007: 79). Sekarang jejak-jejak keberadaan para Suranata di kampung ini sudah tak ada lagi. Namun demikian, nuansa keagamaan yang kental masih terasa. Hal ini terlihat dari banyaknya gedung atau bangunan Muhammadiyah dan Masjid Taqwa Suranatan yang masih hidup hingga kini.

1. LATAR BELAKANG

Berdasarkan pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. 

2. TUJUAN PEMBENTUKAN

Tujuan pembentukan Kecamatan atau Kemantren menurut Pasal 221 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat Desa/kelurahan.

3. DASAR HUKUM PEMBENTUKAN

Dasar Hukum Pembentukan Unit Kerja adalah sebagai berikut :

  1. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
  4. Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Yogyakarta
  5. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 38 Tahun 2023 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Kemantren dan Kelurahan

4. CAKUPAN KEWENANGAN

Cakupan Kewenangan Kemantren tertuang didalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Walikota Kepada Mantri Pamong Praja terkait dengan Urusan Pemerintahan Daerah sebagai berikut :

a. Pemerintahan Umum;

b. Pendidikan;

c. Kesehatan;

d. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;

e. Ketenteraman, Ketertiban Umum dan Pelindungan Masyarakat;

f. Sosial;

g. Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak;

h. Pertanahan;

i. Lingkungan Hidup;

j. Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

k. Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana;

l. Perhubungan;

m. Kebudayaan;

n. Perdagangan.

5. RIWAYAT STRUKTUR ORGANISASI

Riwayat Struktur Organisasi Kemantren adalah sebagai berikut :

Berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 38 Tahun 2023 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Kemantren dan Kelurahan Kota Yogyakarta
Berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 121 Tahun 2020 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Kemantren dan Kelurahan Kota Yogyakarta
Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi Dan Tata Kerja Kecamatan Dan Kelurahan Kota Yogyakarta
Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi Dan Tata Kerja Kecamatan Dan Kelurahan Kota Yogyakarta

6. RIWAYAT PERGANTIAN PIMPINAN

Nama :
PARNO WIDODO, S.H
Periode :
01-01-2001 s/d 04-01-2004
Nama :
Drs. SULARTO SUGIYANTO
Periode :
05-01-2004 s/d 31-01-2008

Nama : 
Drs. YUNIANTO DWISUTONO
Periode :
01 - 02 - 2008 s/d 31 - 08 - 2009
Nama :  
DARAJAT,S.Sos.
Periode :
01 - 09 - 2009 s/d 31 - 03 - 2012
Nama :
Drs. RUMPIS TRIMINTARTA
Periode :
01 - 06 - 2012 s/d 01 - 07 -2013
Nama :
TAOKHID, S.I.P., M.Si.
Periode :
02 - 07 - 2013 s/d 25 - 05 -2018
Nama :
Drs. ANANTO WIBOWO, M.I.P.
Periode :
15 - 05 -2018 s/d 28 - 05 - 2019
Nama :
Drs. TUR ARYA WARIH
Periode :
29 - 05 -2019 s/d 03 - 01 -2021
Nama :
ENDAH DWI DINYASTUTI, S.E.,M.M.
Periode :
04 - 01 - 2021 s/d Sekarang

 

 

7. TUGAS DAN FUNGSI 

Berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 38 Tahun 2023 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Kemantren dan Kelurahan Kota Yogyakarta. Kemantren dan Kelurahan memiliki Tugas dan Fungsi sebagai berikut : 

Tugas Kemantren :

Kemantren mempunyai tugas mengoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan umum, ketenteraman dan ketertiban umum, perekonomian dan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan melaksanakan tugas pembantuan serta penugasan urusan keistimewaan pada tingkat Kemantren.

Fungsi Kemantren :

  1. Pengoordinasian perencanaan penyelenggaraan pemerintahan umum, ketenteraman dan ketertiban umum, perekonomian dan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan melaksanakan penugasan urusan keistimewaan pada tingkat Kemantren; 
  2. Pengoordinasian tugas dan fungsi unsur organisasi Kemantren;
  3. Penyelenggaraan kegiatan pemerintahan umum di tingkat Kemantren;
  4. Penyelenggaraan kegiatan ketenteraman dan ketertiban di tingkat Kemantren;
  5. Penyelenggaraan kegiatan perekonomian dan pembangunan di tingkat Kemantren;
  6. Penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di tingkat Kemantren;
  7. Penyelenggaraan kegiatan pelayanan umum di tingkat Kemantren;
  8. Penyelenggaraan pembinaan teknis kelembagaan pemberdayaan masyarakat di tingkat Kemantren;
  9. Penerbitan dokumen perizinan dan/atau dokumen nonperizinan sesuai kewenangan Kemantren;
  10. Pengoordinasian dan fasilitasi kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh instansi pemerintah di tingkat Kemantren;
  11. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kegiatan Kelurahan;
  12. Pengoordinasian pelaksanaan sebagian kewenangan yang dilimpahkan oleh Walikota;
  13. Pengoordinasian pelaksanaan penugasan keistimewaan di tingkat Kemantren;
  14. Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan kesekretariatan Kemantren;
  15. Pembinaan dan pengoordinasian penyelenggaraan tugas dan fungsi kelompok jabatan fungsional pada Kemantren;
  16. Pengoordinasian penyelenggaraan pengelolaan kearsipan dan perpustakaan Kemantren;
  17. Pengoordinasian pelaksanaan reformasi birokrasi, sistem pengendalian internal pemerintah, zona integritas, ketatalaksanaan, dan budaya pemerintahan Kemantren;
  18. Pengoordinasian tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan;
  19. Pengoordinasian pelaksanaan pemantauan, pengendalian, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan tugas Kemantren; 
  20. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugas Kemantren.

Tugas dan Fungsi Unit pada Kemantren dapat dilihat pada Lampiran Peraturan Walikota Nomor 38 Tahun 2023 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Kemantren dan Kelurahan Kota Yogyakarta

Tugas Kelurahan :

Kelurahan mempunyai tugas membantu Kemantren dalam mengoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan, ketenteraman dan ketertiban umum, pelayanan, informasi dan pengaduan, perekonomian, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan.

Fungsi Kelurahan :

  1. Penyelenggaraan perencanaan pemerintahan, ketenteraman, ketertiban umum, pelayanan, informasi, pengaduan, perekonomian, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan;
  2. Penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, ketenteraman, dan ketertiban umum pada tingkat Kelurahan;
  3. Penyelenggaraan kegiatan perekonomian dan pembangunan pada tingkat Kelurahan;
  4. Penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan;
  5. Penyelenggaraan pembinaan teknis kelembagaan pemberdayaan masyarakat pada tingkat Kelurahan;
  6. Pengoordinasian upaya ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat;
  7. Pengoordinasian dan fasilitasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Perangkat Daerah/unit kerja di tingkat Kelurahan;
  8. Pengoordinasian pelaksanaan pelayanan perizinan dan nonperizinan sesuai dengan kewenangan Kelurahan;
  9. Pelaksanaan sebagian kewenangan Mantri Pamong Praja yang dilimpahkan kepada Lurah;
  10. Pengoordinasian pelaksanaan sebagian urusan keistimewaan di tingkat Kelurahan;
  11. Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan kesekretariatan Kelurahan;
  12. Pembinaan dan pengoordinasian penyelenggaraan tugas dan fungsi kelompok jabatan fungsional pada Kelurahan;
  13. Pengoordinasian penyelenggaraan pengelolaan kearsipan dan perpustakaan Kelurahan;
  14. Pengoordinasian pelaksanaan reformasi birokrasi, system pengendalian internal pemerintah, zona integritas, ketatalaksanaan, dan budaya pemerintahan Kelurahan;
  15. Pengoordinasian pelaksanaan tindak lanjut laporan hasil pemeriksaan pada Kelurahan;
  16. Pengoordinasian pelaksanaan pemantauan, pengendalian, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan tugas Kelurahan;
  17. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugasnya.

Tugas dan Fungsi Unit pada Kelurahan dapat dilihat pada Lampiran Peraturan Walikota Nomor 38 Tahun 2023 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Kemantren dan Kelurahan Kota Yogyakarta